Mahfud MD: Ini Kejahatan yang Sangat Besar dan Jelas
JAKARTA -- Ketua Dewan Penasihat Lembaga Bantuan Hukum PBNU Moh Mahfud MD tersentak mendengar suara rekaman pemeriksaan Ketua Umum MUI, KH Ma'ruf Amin dalam sidang penistaan agama, Selasa (31/1). Dalam percakapan itu, kuasa hukum terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dinilai mengancam Ma'ruf Amin dengan bukti rekaman."Ini adalah kejahatan yang sangat besar, dan jelas. Dia mengancam (KH Ma'ruf Amin) kok, namun dia ngeles tadi saat konferensi pers," kata Mahfud MD yang menjadi narasumber dalam acara Berita Hari Ini di stasiun TVOne, Rabu (1/2).
Mahfud mengatakan, tim kuasa hukum Ahok mengatakan saat konfrensi pers bahwa mereka tidak mengancam Rais Am NU tersebut, tetapi saksi pelapor. Padahal, kata Mahfud, ancaman terhadap saksi pelapor sudah sering dilakukan pada saat saksi pelapor bersaksi di pengadilan.
"Pengacara dan Ahok sudah jelas menista KH Ma'ruf Amin, tadi ngeles, (ini) sudah jelas," kata Mahfud. Mahfud menandai ancaman terhadap Ma'ruf Amin ketika pengacara menyatakan kepada Majelis Hakim 'ini katerangan palsu majelis hakim, dicatat'.
Mehfud menegaskan, selama ini dia telah berusaha objektif dalam menilai kasus yang menjerat Ahok tersebut. "Ketika Safii Maarif dikecam karena membela Ahok, saya mendukung Safii," katanya. Begitu juga ketika dikatakan Fatwa MUI bukan hukum positif, Mahfud membenarkannya.
"Tapi ini Ahok dan pengacaranya menista pimpinan saya," tegas Mahfud.
Mahfud mengatakan, tidak ada yang salah jika pun SBY menelepon karena akan ada yang ke PBNU. Hal itu, kata dia, biasa dilakukan jika akan berkunjung ke sebuah lembaga. "Lalu, apa salahnya orang menerima telepon itu? lah Ahok juga kalau datang gak telepon dulu apa?"
Mahfud pun menutup dengan sebuah penegasan bahwa dirinya akan mengikuti PBNU yang menerima permintaan maaf Ahok. Namun, itu bukan berarti kasus penyadapan itu tidak ditindaklanjuti. "Mari kita maafkan terkait penghardikan pada Ma'ruf Amin, tapi hukum tetap harus ditegakkan. Karena kalau hukum tidak ditegakan, hancur negara ini."
Sumber: Republika