Kepeloporan Pendidikan Islam di Jakarta

Alwi Alatas
(Kandidat Doktor Sejarah di International Islamic University Malaysia/ Guru Pesantren Shoul Lin al-Islami Depok)
Pendidikan merupakan sarana penting untuk mendorong terjadinya perubahan positif yang signifikan di tengah masyarakat. Tapi, bisa juga, pendidikan membawa perubahan negatif, jika sistem pendidikan yang dikembangkan bermasalah. Beda dengan revolusi yang menghasilkan perubahan cepat, meski seringkali menimbulkan luka yang dalam, pendidikan membawa perubahan yang perlahan dan gradual. Tetapi, dampak pendidikan lebih berkesan dan panjang. Karena itu orang-orang yang berpandangan jauh dan menghendaki perubahan biasanya menjadikan pendidikan sebagai medium utama dalam mewujudkan gagasan mereka.

Dalam sejarah peradaban Islam, pendidikan telah lama menjadi bagian penting dan terus berkembang seiring dengan laju perubahan jaman. Pada esensinya pendidikan adalah proses transmisi adab dan ilmu dari orang-orang yang alim kepada para penuntut ilmu. Hal yang sama berlaku juga pada masyarakat Muslim di Indonesia. Walaupun catatan sejarah awal Nusantara agak minim, tetapi dapat dipahami bahwa sejarah Islam di wilayah ini tidak sepi dari aktivitas menuntut ilmu. Itu bisa dilihat dari berbagai aktivitas keilmuan melalui para ulama luar yang datang ke wilayah ini ataupun ulama-ulama lokal yang menuntut ilmu ke negeri-negeri Timur Tengah, yang kemudian kembali untuk menyebarkan ilmunya di Nusantara.
Aktivitas keilmuan ini kemudian berkembang dalam bentuk pesantren. Inilah lembaga pendidikan Islam yang dipimpin oleh seorang Kyai dan sejumlah tenaga pengajar. Walaupun sudah bersifat kelembagaan, tradisi keilmuannya tetap berpusat pada otoritas guru dan ulama.
Namun perkembangan Islam di Indonesia mendapat tantangan dengan masuknya kekuatan kolonial Belanda sejak abad ke-16 yang cengkeramannya semakin lama semakin kuat. Pada awalnya pemerintah kolonial Belanda tidak mengurus soal pendidikan masyarakat pribumi. Namun pada pertengahan abad ke-19, seiring dengan semakin jauhnya pemerintah kolonial masuk dan mengatur secara langsung birokrasi pribumi, pemerintah memutuskan untuk membuka sekolah-sekolah untuk kaum elit pribumi.
Sekolah-sekolah ini, sebagaimana disebutkan oleh Bernard Vlekke di dalam bukunya Nusantara, terus bertambah sehingga pada tahun 1903 jumlahnya menjadi 1.700 buah, pada tahun 1913 menjadi 7.000 buah, separuh dari jumlah yang terakhir ini merupakan sekolah desa, dan angka ini masih terus membesar. Pendidikan yang diberikan oleh sekolah-sekolah kolonial ini tentu saja bersifat sekular. Agama boleh dikatakan tidak mendapat tempat di dalamnya, atau disisipkan dalam bentuk yang sudah terdistorsi. Selain sekolah pemerintah, ada pula sekolah-sekolah zending yang memiliki unsur keagamaan lebih besar, tetapi muatan yang diberikan di dalamnya adalah agama Kristen.
Pada akhir era kolonial, pendidikan Belanda yang bersifat sekular semakin bisa dinikmati oleh masyarakat pribumi yang lebih luas, walaupun jumlah pelajarnya tetap sangat kecil dibandingkan keseluruhan penduduk yang ada. Menurut M.C. Rickleffs dalam A History of Modern Indonesia, orang Indonesia yang mengenyam sekolah dasar pada tahun 1930 hanya sebesar 2.8%. Sementara tingkat literasi pada tahun yang sama adalah 7.4%, yang artinya pendidikan lokal, khususnya pesantren, masih memberikan sumbangan lebih besar bagi penghapusan buta huruf.
Di antara tokoh yang mendukung diberikannya pendidikan kolonial bagi masyarakat pribumi adalah Snouck Hurgronje. Bagi Hurgronje, pendidikan sekuler bagi kaum elit pribumi adalah sebuah cara untuk mencapai apa yang disebutnya sebagai ‘asosiasi’ atau “suatu kesatuan kultural di antara rakyat Ratu Belanda”, terlepas dari perbedaan agama yang mereka miliki. Dengan kata lain, ia memimpikan lahirnya masyarakat pribumi yang memiliki kultur yang sama dengan masyarakat Belanda serta memiliki loyalitas kepada Ratu Belanda, walaupun mereka mungkin tetap beragama Islam.
Visi Hurgronje memang tidak sepenuhnya terwujud, karena para elit pribumi yang dihasilkan oleh pendidikan sekuler kolonial, bersama-sama dengan para alumni pesantren, akhirnya justru menggunakan pengetahuan mereka untuk mengusir penjajah dan memerdekakan Indonesia. Tetapi sekolah-sekolah sekuler kolonial berhasil menciptakan diskrepansi budaya antara kaum sekuler pribumi ini dengan rekan-rekan santri mereka.
Mark Woodward menjelaskan di dalam Java, Indonesia and Islam bahwa sebelum era Politik Etis kaum elit priyayi masih mengirimkan putera-putera mereka ke pesantren, selain memberikan pendidikan sastra tradisional di sekolah kerajaan. Namun, belakangan anak-anak priyayi ini tinggal bersama keluarga-keluarga Belanda untuk mengenyam pendidikan sekuler dan tidak lagi menerima pendidikan di pesantren. Dampaknya, Woodward mengutip pengamatan Ahmad Djajadiningrat, “banyak Kyai pada periode ini sangat curiga terhadap kaum elit priyayi karena kedekatan hubungan mereka dengan pemerintah kolonial, yang mereka anggap dilarang oleh hukum Islam.” Dan sebaliknya, “walaupun sebagian besar priyayi menganggap dirinya Muslim, banyak di antaranya yang tidak pernah menerima dasar-dasar pendidikan Islam sedikitpun.” Sebagian priyayi ini mengakui bahwa mereka “secara aktif telah dikecilkan hatinya, kalau tidak justru dilarang, dari menghadiri aktivitas-aktivitas di masjid.”

Kepeloporan Jamiat Kheir
Kaum santri enggan mengirim anak-anak mereka belajar ke sekolah model kolonial, karena menjauhkan Muslim pribumi dari agamanya. Di antara mereka, ada orang-orang keturunan Hadrami di Indonesia. Mereka sejak lama telah datang ke Nusantara untuk berdakwah dan berdagang dan jumlah mereka yang datang ke Indonesia semakin meningkat pada paruh terakhir abad ke-19. Mereka mewakili mayoritas keturunan Arab di Indonesia dan merupakan komunitas migran terbesar kedua di Indonesia setelah orang-orang keturunan Cina.

Dalam buku Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara karya L.W.C. van den Berg disebutkan bahwa orang-orang Hadrami ini kebanyakannya bisa membaca lewat pendidikan yang diberikan di rumah. Mereka tidak suka mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah pemerintah atau sekolah zending karena khawatir anak-anak ini akan terpengaruh agama Kristen.

Pada akhir abad ke-19, beberapa pemuka Hadrami di Indonesia menerima ide-ide pembaruan Islam dari Timur Tengah, dan juga ide Pan-Islamisme, serta menyebarkan gagasan itu di Indonesia. Mereka kemudian mendirikan perkumpulan modern Islam pertama di Indonesia, yaitu “Jam’iyyat Khair” (kini Jamiat Kheir) pada tahun 1901 di Batavia, hanya satu tahun setelah orang-orang keturunan Cina mendirikan perkumpulan modern serupa. Bagaimanapun, Jam’iyyat Khair memiliki keunggulan karena asas Islam-nya membuatnya terhubung dengan masyarakat pribumi. Perkumpulan ini baru mendapat status resmi dari pemerintah Hindia Belanda pada pertengahan tahun 1905.
Pada tahun 1906, Jam’iyyat Khair mendirikan sekolah modern Islam yang pertama di Indonesia, berlokasi di Pekojan, Batavia. Sekolah ini kemudian diikuti oleh beberapa cabang serta sekolah-sekolah sejenis di beberapa kota lainnya. Sekolah-sekolah ini menggabungkan kurikulum agama dan sekuler, dalam arti pelajaran Matematika, Sejarah, dan Bahasa Inggris diberikan di samping pelajaran agama Islam. Fitur-fitur yang menonjol dari sekolah modern ini mungkin akan dikritisi sebagai hal-hal yang kurang esensial, seperti pembelajaran di kelas dengan sistem penjenjangan siswa, serta digunakannya meja-kursi dan buku teks modern yang mengandung ilustrasi. Namun seperti ditulis Natalie Mobini-Kesheh di dalam The Hadrami Awakening, “filosofi yang mendasari sekolah-sekolah ini menekankan pada pentingnya pemahaman.” Diskusi-diskusi informal juga biasa diadakan di sekolah-sekolah ini untuk membicarakan situasi kaum Muslimin yang perlu diperbaiki.
Jam’iyyat Khair dan sekolah-sekolah semisalnya telah memainkan peranan sebagai motor kebangkitan (nahdhah) masyarakat Hadrami di Indonesia. Tetapi bukan hanya bagi orang-orang Hadrami, unsur Islam di belakang ide-ide ini juga pada gilirannya telah memantik gairah kebangkitan yang sama di tengah masyarakat Muslim di Indonesia pada umumnya. Walaupun Jam’iyyat Khair lebih dikenal sebagai organisasi keturunan Arab, sejak tahun 1906 anggaran dasarnya membuka peluang bagi kalangan lain yang beragama Islam. Beberapa tokoh nasional ada yang menjadi anggota Jam’iyyat Khair, di antaranya KH. Ahmad Dahlan, HOS. Tjokroaminoto, serta Hasan Djajadiningrat. Begitu pula sekolah Jam’iyyat Khair menerima murid-murid bukan hanya dari kalangan Hadrami tetapi juga dari kalangan Muslimin pada umumnya.
Ide-ide pembaruan pendidikan Islam yang dimulai oleh Jam’iyyat Khair ini kemudian diteruskan antara lain oleh KH. Ahmad Dahlan melalui organisasi Muhammadiyah yang didirikannya pada tahun 1912. Sejak saat itu, Muhammadiyah mendirikan banyak sekolah-sekolah Islam modern di Indonesia. Keberadaan sekolah-sekolah ini diharapkan dapat mencegah atau mengurangi terjadinya kristenisasi – atau de-Islamisasi – lewat dunia pendidikan, karena kini masyarakat Muslim pribumi tidak perlu masuk sekolah-sekolah pemerintah atau zending untuk mendapatkan pelajaran-pelajaran umum.
Guru internasional
Di antara hal menarik dari Jam’iyyat Khair adalah keseriusannya dalam menghadirkan guru-guru berkualitas, bahkan yang berskala internasional. Pada tahun 1907, menurut Deliar Noer dalam bukunya, Gerakan Modern Islam, seorang guru dari Padang bernama Haji Muhammad Mansur dibawa ke Jakarta untuk mengajar di Jam’iyyat Khair. Pada tahun 1911, beberapa orang guru sekaligus ulama dari Timur Tengah didatangkan ke Indonesia untuk memimpin cabang-cabang sekolah ini. Mereka adalah Ahmad Soorkatti dari Sudan, Muhammad Thaib dari Maroko, dan Muhammad Abdul Hamid dari Makkah. Begitu pula pada tahun yang sama didatangkan seorang guru yang lain, yaitu Muhammad al-Hasyimi dari Tunisia, yang kemudian juga menjadi pelopor kepanduan di kalangan Muslimin Indonesia.


Sekolah Jam’iyyat Khair sangat menekankan perlunya ilmu alat seperti bahasa Arab karena sangat diperlukan untuk memahami teks-teks Islam, di samping juga memberikan pelajaran bahasa Melayu dan bahasa Inggris. Penulis sendiri pernah menjumpai alumni Jam’iyyat Khair di masa lalu yang menguasai bahasa Arab dengan baik semata-mata lewat proses belajar di sekolah dasar dan menengah Jam’iyyat Khair. Sayangnya, kini,  hal positif ini belakangan tidak lagi dijumpai pada sekolah ini.
Pada pertengahan tahun 1910-an Jam’iyyat Khair mengalami perpecahan dan sebagian pengurusnya mendirikan perkumpulan baru bernama al-Irsyad, dipimpin oleh Ahmad Soorkatti. Jam’iyyat Khair sendiri yang awalnya juga berkiprah di bidang sosial, ekonomi, dan politik, pada tahun 1919 mengubah anggaran dasarnya dan membatasi kegiatannya hanya pada bidang pendidikan. Setelah itu tampaknya peranan yang dimainkan oleh Jam’iyyat Khair di pentas nasional tidak lagi menonjol, kalau tidak dikatakan semakin mundur. Bagaimanapun, lembaga pendidikan yang sudah berusia 115 tahun ini masih tetap eksis hingga sekarang. Semoga ke depannya Jamiat Kheir mampu merevitalisasi dirinya dan kembali memberi kontribusi penting bagi dunia pendidikan di Tanah Air.

Hensu79, sumber: insist.id (wadah Intelektual Muslim Indonesia dalam Bidang Pemikiran Islam)