Apakah Kita Biarkan Tata Cara Hubungan Kemanusiaan Menjadi Tak Beradab


Bagaimana perasaan hati yang mau tak mau terbawa dalam kata dan sikap atas tata cara menggali informasi pada saksi. Seorang saksi yang diundang menghadiri sebuah pengadilan. Yang penjelasannya diperlukan untuk melihat kejelasan sebuah perkara. Seorang saksi yang sudah tua yang datang dengan kedudukannya sebagai ketua Majelis Ulama. Biarlah orang sebut Baper tapi berbagai perasaan ini serasa mengganggu landasan karakter yang dibentuk selama ini sebagai bagian dari bangsa yang beradab.

SEDIH, karena seorang yg tua lebih dari usia ibuku duduk dg waktu yg lama plus menjawab banyak pertanyaan dan membayangkan kemungkinan ia merasa sendirian di ruangan itu. Mungkin juga perasaan yang bingung karena kehadirannya adalah untuk memberi keterangan tetapi diselidiki dengan berbagai pertanyaan. Rasanya sikap ilmiahnya akan berkata, media ini telah salah prosedur dalam memposisikannya

TERHINA, karena seorang ulama yang kita utamakan dalam mencari pegangan setelah nabi tiada lagi diperlakukan seakan beliau adalah tersangka. Mohonlah dimengerti jika GNPF yang secara spontan ada untuk membuktikan bahwa ummat yang memerlukan fatwa itu peduli untuk mengawalnya. Bahkan dalam masyarakat yang mulai/sudah tercerdaskan mengikuti bagaimana lahirnya fatwa tersebut. Bukan hanya melibatkan satu komisi di lembaga MUI tapi komisi lainnya.

Walau sejujur hati nurani melihat, andai fatwa tidak lahir, tindakan BTP masuk dalam kategori penistaan. Sungguh kehormatan bahwa untuk meyakinkan itu sebuah fatwa diperlukan lalu setelah itu berjalan ketua MUI dijadikan pesakitan pada persidangan BTP.

Ketua MUI dengan kearifan dan keluwesan sebagaimana masyarakat Jawa tidak mempermasalahkan itu walau di ruangan itu mesti ada yang merasa gerah dan tak cukup kekuatan untuk menyatakan ketaknyamanannya atau memang seluruhnya dikondisikan untuk melemahkan KH Ma'mun Arif. Ingin menyatukan sepuluh jari dan menundukkan kepala kepadanya untuk meminta maaf sebagai kami juga adalah unsur bangsa yang berPANCASILA ini.

MALU, karena ketidaksopanan perlakuan ini diterima seorang Kiai terpelajar dan dilakukan dalam ruangan dengan orang orang cerdas yang sedang berproses dengan sejumlah kitab hukum. Malu karena pencerdasan yang dilaksanakan dalam berbagai pendidikan formal, non formal dan informal pada dasarnya adalah proses perubahan tingkah laku. Adakah boleh seorang tersangka menanyakan pada saksi dengan kalimat kalimat ancaman? Selama ini ketidaksopanan BTP dalam menggunakan kata dan kalimat dalam berbagai keadaan telah mengganggu dan keadaan buruk itu berlanjut di depan para Hakim yang terhormat, para Jaksa dan para penasehat hukum yang membelanya. Bukankah keadaan ini dapat membenarkan pandangan bahwa kejelekan yang dibiasakan akan menjadi hal yang biasa dan tidak jelek lagi.

Jika urusan hukum sepenuhnya milik persidangan maka urusan menghilangkan publik figur dari diri seorang yang selalu mengumbar perkataan menyakitkan adalah milik pemegang suara. Adakah pemilih yang berpalsafah Kemanusiaan yang adil dan beradab membiarkan publik figur seperti ini. Bukankah berbagai peristiwa akhir akhir ini memperlihatkan mudahnya kata dan kalimat tak baik keluar lalu semudahnya saja minta maaf.

SAKIT, karena tidak bisa berbuat apa apa pada sebuah keadaan. Hal ini dirasakan ketika menyaksikan persidangan kopi sianida manakala seorang saksi yang memaparkan secara ilmiah lalu ketika team ahli hukum bertanya seakan si saksi lah terdakwanya. Hal ini tak pernah dirasakan ketika melihat adegan pada produksi Hollywood maupun Bollywood.

MARAH, karena terdakwa seakan menjadi penuntut kepada saksi di ruang persidangan yang dihormati. Marah karena persoalan penegakan keadilan untuk menghukum seorang penista agama berjalan begitu lambat. Tegakkan supermasi hukum pada penista agama bahkan perlunya fatwa pun telah diberikan oleh MUI.

HERAN, karena begitu besarnya urusan yang terjadi di negeri hanya karena kelancangan dan niat buruk seorang BTP. Heran membayangkan besarnya anggaran kepolisian untuk mengawal ini padahal urusannya sesederhana penyelesaian kasus penistaan yang pernah terjadi sebelumnya. Heran karena pasal 27 UUD 45 tentang equality dapat diabaikan oleh peraturan sehubungan pilkada.

BINGUNG, karena dengan berbagai situasi global yang mesti dikondisikan dalam proses pendidikan anak harus pula menyiapkan sejumlah jawaban kepada generasi muda yang bertanya tentang kondisi yang tak dimengertinya. Sementara sebagai manusia dewasa pun tak mengerti dengan fenomena yang terjadi.

Semoga ini semua sekedar ujian bagi Bangsa ini dalam proses pencapaian tujuan nasional Mencerdaskan Kehidupan Bangsa

Rugaya Abubakar
02.02.2017