Ketua Umum MUI (Majelis Ulama Indonesia) Pusat, Dr KH Ma`ruf Amin menyampaikan kerisauannya terhadap fenomena saat ini yang membenturkan aqidah (Islam) dengan wawasan kebangsaan. Seolah kalau ulama, ustadz, dai banyak berbicara agama, maka itu dipandang, dicurigai sebagai anti-kebhinekaan, tidak pluralis, bahkan menolak Pancasila. Sebaliknya, jika bicara kebhinekaan, kemajemukan bangsa, Pancasila, maka yang terkait aqidah, harus dipinggirkan.“Jangan kita atas nama kebangsaan mengorbankan aqidah, namun jangan pula atas nama aqidah kita mengorbankan kebangsaan kita. Aqidah, agama dan kebangsaan harus kita kelola bersama secara baik,” kata Ketua Umum MUI Pusat, Dr KH Ma`ruf Amin, saat menerima sejumlah komisioner KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) yang bersilaturahmi ke MUI (Majelis Ulama Indonesia) di Gedung MUI, Jl. Proklamasi, Jakarta, Selasa siang (17/01/2017).
Upaya membenturkan, opini yang berkembang tentang Islam versus Pancasila marak muncul di media massa, terutama media sosial, lewat postingan yang bernuansa fitnah, adu domba, dengan berbagai informasi yang menyesatkan. “Kita berharap media televisi jangan ikut terjebak. Harusnya justru mengklarifikasi, meluruskan informasi hoax. Peran KPI sangat menentukan terhadap media penyiaran,” ujar Kiyai Ma`ruf. Menurut dia, media patut cerdas menampilkan narasumber, pembicara yang layak untuk publik. Dicermatinya, ada kelompok ekstrim, baik yang semata mengedepankan aqidah maupun kebangsaan. “Kita setuju, menolak yang ekstrim-ekstrim itu, yang memperkeruh suasana,” ucapnya.
Ketua Umum MUI (Majelis Ulama Indonesia) Pusat, Dr KH Ma`ruf Amin menyampaikan kerisauannya terhadap fenomena saat ini yang membenturkan aqidah (Islam) dengan wawasan kebangsaan. Seolah kalau ulama, ustadz, dai banyak berbicara agama, maka itu dipandang, dicurigai sebagai anti-kebhinekaan, tidak pluralis, bahkan menolak Pancasila. Sebaliknya, jika bicara kebhinekaan, kemajemukan bangsa, Pancasila, maka yang terkait aqidah, harus dipinggirkan.“Jangan kita atas nama kebangsaan mengorbankan aqidah, namun jangan pula atas nama aqidah kita mengorbankan kebangsaan kita. Aqidah, agama dan kebangsaan harus kita kelola bersama secara baik,” kata Ketua Umum MUI Pusat, Dr KH Ma`ruf Amin, saat menerima sejumlah komisioner KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) yang bersilaturahmi ke MUI (Majelis Ulama Indonesia) di Gedung MUI, Jl. Proklamasi, Jakarta, Selasa siang (17/01/2017).
Upaya membenturkan, opini yang berkembang tentang Islam versus Pancasila marak muncul di media massa, terutama media sosial, lewat postingan yang bernuansa fitnah, adu domba, dengan berbagai informasi yang menyesatkan. “Kita berharap media televisi jangan ikut terjebak. Harusnya justru mengklarifikasi, meluruskan informasi hoax. Peran KPI sangat menentukan terhadap media penyiaran,” ujar Kiyai Ma`ruf. Menurut dia, media patut cerdas menampilkan narasumber, pembicara yang layak untuk publik. Dicermatinya, ada kelompok ekstrim, baik yang semata mengedepankan aqidah maupun kebangsaan. “Kita setuju, menolak yang ekstrim-ekstrim itu, yang memperkeruh suasana,” ucapnya.
KPI dan MUI sepakat memantapkan kerjasama yang telah terjalin baik selama ini. “Kita perlu terus mengembangkan kerjasama karena kualitas media siaran perlu terus kita tingkatkan agar umat, masyarakat luas mendapatkan sajian siaran televisi yang mendidik,” kata Kiyai Ma`ruf. Komisioner KPI yang hadir di MUI itu, Yuliandre Darwis (Ketua), Ubaidilah, Nuning Rodiyah, Dewi Setyarini, Mayong Suryo Laksono dan Agung Supriyo. Sementara Kiyai Ma`ruf Amin didampingi KH Zainut Tauhid (Wakil Ketua Umum MUI), KH Masduki Baidlowi (Ketua MUI), KH Cholil Nafis (Ketua Komisi MUI Bidang Dakwah), Usman Yatim (Sekretaris Komisi Infokom) dan anggota Komisi Infokom (Informasi dan Komunikasi) MUI Ibnu Hamad, Taryono Asa, serta Hidayati.
Menurut KH Ma`ruf Amin, media siaran selain tetap menghibur, diharapkan sajian informasinya harus dapat menjernihkan situasi, bukan membuat resah, menyebar fitnah, seperti yang banyak muncul di media sosial. “Hoax ada di mana-mana dalam medsos. Informasi di TV harusnya bukan ikut mengipas tapi harus menangkal, mengklarifikasi isu-isu yang meresahkan,” ucap Kiyai Ma`ruf yang juga Rois Aam PB NU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) ini.
Ditambahkannya, pengaruh media siaran, terutama televisi sangat luar biasa, baik dalam kecepatan sampai ke khalayak maupun dampaknya. “Nah, ini tugas KPI yang tidak hanya memantau, mengawasi tapi juga menegur, bahkan memberi sanksi terhadap media siaran yang melanggar. Kalau MUI tidak sampai ke sana, cuma melihat, mendapat aduan dari umat,” ujarnya. Diingatkannya, tugas MUI itu memberi pendapat, mengeluarkan fatwa terhadap berbagai masalah yang ditanyakan umat. “Apakah diikuti atau tidak, itu bukan tugas MUI memberi sanksi. MUI tidak mengeksekusi seperti KPI,” lanjutnya.
Ketua KPI Yuliandre Darwis menyatakan, sangat berterimakasih kepada MUI dalam memberikan masukan, menjalin kerjasama dengan KPI guna memajukan dunia penyiaran di Indonesia. Pemantauan yang dilakukan tim MUI terhadap siaran televisi, terutama selama Ramadhan, cukup berpengaruh dalam meningkatkan mutu siaran dakwah dan pendidikan. Bicara isi siaran terkait informasi agama Islam, dakwah, tentu yang lebih tahu adalah MUI. “KPI ingin terus mendapatkan masukan dari MUI. Pengelola siaran juga sangat memperhatikan masukan MUI,” ujar komisioner KPI yang baru sekitar 6 bulan menjabat itu.
Ketua MUI Bidang Infokom, Masduki Baidlowi mengatakan, kerjasama MUI-KPI diharapkan tidak hanya saat menyambut Ramadhan, namun hendaknya sepanjang tahun karena siaran dakwah di televisi berlangsung setiap hari. Ditambahkan oleh Kiyai Cholil Nafis, siaran dakwah di televisi memang patut serius diperhatikan karena banyak umat mempertanyakan mutu narasumber yang dinilai tidak pas. “Ada narasumber, dai menafsirkan Al Quran tapi keliru karena bukan ahli tafsir. Belum lagi, lafal bacaan Al Qurannya dinilai tidak pas. Itu aduan yang masuk ke MUI,” ucap Kyai Cholil.
Anggota KPI Nuning Rodiyah menyatakan, indeks siaran televisi meningkat selama Ramadhan. Hal itu diharapkan dapat sebagai pintu masuk memperbaiki kualitas siaran untuk sepanjang tahun. Dia sependapat dengan Kiyai Cholil Nafis, perlunya standar kualitas para dai yang tampil di televisi. Diakui, para dai di televisi jago berkomunikasi, namun jangan isi dakwahnya tidak pas, apalagi bila sampai bacaan Al Qurannya saja salah. “Kita memang harus memperbarui MOU karena perlu disesuaikan dengan tuntutan keadaan sekarang, seperti soal kualitas dai, tayangan religi, dan lainnya,” kata Ubaidilah, rekan Nuning menambahkan.
Berdasarkan pertemuan MUI-KPI itu disepakati, dalam waktu dekat akan digelar pertemuan yang mengundang para pengelola media televisi guna membincangkan permasalahan siaran dakwah, agama Islam di televisi. “Kita harapkan dalam forum itu, kesepakatan baru antara MUI dan KPI dapat ditandatangani,” kata anggota KPI Mayong Suryo Laksono. (uy)