NGANU MEMANG ANU
Oleh Balya Nur
Orang Prancis tidak praktis. Demen repot. Untuk mengeritik pejabat yang sok kuasa , di media pejabat itu digambar suliet. Begitulah seperti yang diceritakan Rocky Gerung di ILC TV One.
Beruntung orang Indonesia cukup praktis mengatasi kritik pada penguasa yang bisa saja diancam tuduhan ujaran kebencian. Cukup dengan menulis lima huruf tanpa harus repot menggambar siluet, sudah terbebas dari ancaman hukuman.
Lima huruf itu, “Nganu “ tiba-tiba disepakati tanpa berunding lebih dulu. Langsung populer. Bahkan pak menteri Kemkominfo juga menggunakannya ketika Karni Ilyas bertanya soal blokir akun Habib Rizieq Sihab dan FPI.
Pak menteri mengatakan, akun bapak anu bukan kemkominfo yang blokir. Padahal kalau pak menteri bilang, “ Akun Bapak Riziek Sihab bukan pihak kami yang blokir, “ penjelasan itu tidak masuk kategori ujaran kebencian. Penjelasan normal saja. Tapi kenapa Pak Menteri seperti enggan menyebut nama Rizieq Sihab?
Keengganan pak menteri itu setidaknya menggambarkan nama Habib Rizieq Sihab dan FPI telah dikondisikan identik dengan ujaran kebencian hingga ketika mau menyebut nama itu pak menteri seolah-olah terbayang wajah atasannya yang marah, atau aparat yang lantang menyuarakan “perang” terhadap apa yang disebut kaum “intoleran. “
Walaupun tidak secara langsung menyebut kaum yang mana, tapi publik sudah paham. Yang pasti bukan kaum yang menodongkan tombak tajam, mengusir ustadz Zulkarnain. Mengharamkan tanah leluhurnya diiinjak oleh ulama dari MUI itu. Bukan juga yang mencegah Jamaah Tabligh masuk ke wilayahnya, dan memaksa jamaah itu membawa kembali kopernya seperti peserta lomba nyanyi yang terkena eliminasi. Juga bukan yang bikin petisi membubarkan MUI. Sekurangnya tiga peristiwa itu adalah bentuk kesadaran masyarakat mencegah intoleransi. Katanya.
Dari diskusi di ILC TV One nampak sekali pemerintah dan dewan pers ingin sekali mengarahkan masyarakat hanya percaya berita media main stream. Setiap berita yang dimuat oleh media bukan main stream sudah pasti hoax.
Untungnya ada Pak Nukman Lutfi yang langsung membuat pucat wajah dewan pers dengan mengungkapkan fakta bahwa hoax juga dilakukan oleh media mainstream. Dan Rocky Gerung bikin wakil pemerintah di acara itu tersenyum kecut. Rocky menyebut pemerintah yang paling berpotensi menyebar berita hoax.
Sumber berita satu arah pernah dilakukan oleh pemerintah orde baru. Semua berita yang baik adalah berita yang mendapat “restu “ pemerintah. Di era reformasi tentu saja tidak bisa diterapkan lagi. Mulai dari era Habibi sampai SBY, kebebasan warga mencari sumber berita sebagai pembanding berita dari media main stream diberikan ruang.
Sekarang bagaimana? Pengguna media sosial yang diarahkan membaca berita sehat dari media main stream memang nampaknya ideal. Melindungi pengguna media dari kemungkinan terprovokasi oleh berita hoax. Tapi persoalannya, media main stream kita tidak bersih dari intervensi pemilik modal. Dan pemilik modal itu kebanyakan politisi. Para politisi itu ada beberapa yang berada dalam pemerintah. Ada juga yang bukan politisi, tapi pemiliknya pada pilpres kemarin secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi memihak pemenang pilpres.
Dalam situasi seperti itu bukan berita bohong yang diproduksi oleh media main stream, tapi milih-milih berita dan framing. Framing ini sangat ampuh hingga membuat Saeni pemilik warteg yang jelas melanggar Perda dan tidak menghomarti kearifan lokal masyarakat setempat bisa dapat penghargaan puluhan juta rupiah dari berbagai pihak. Termasuk pemerintah.
Cuma memang milih-milih berita dan framing tidak masuk berita bohong atau hoax. Framing berdasarkan fakta, cuma cara penyajiannya saja yang mengarahkan pembaca sesuai dengan keinginan media bersangkutan. Ya, semacam provokasi hasanah.
Seperti halnya sekarang media main stream sedang “perang” melawan yang mereka sebut sebagi kelompok intoleransi, anti kebhinekaan, anti NKRI, anti Pancasila, tapi media main stream tidak bicara substansinya, lebih pada nama kelompoknya, atau personnya. Kebanyakan media main stream sudah menjadi jaksa sekaligus hakim.
Kelompok yang dihujani tuduhan sepihak sebagai kaum intoleransi hanya bisa mengurut dada melihat akun yang terang-terangan melancarkan fitnah dan ujaran kebencian pada peserta dan tokoh aksi 212, terbebas dalam daftar akun penebar fitnah dan hoax hanya karena akun-akun dan web itu mengaku pembela NKRI dan pengawal kebhinekaan, walaupun pada kenyataannya jauh panggang dari api.
Revisi UU Ormas, dan berita akan datangnya “pejabat” face book yang akan bertemu dengan menteri menkominfo tentu berkaitan erat dengan riuh rendah persoalan di atas. Semua cara ditempuh.
Aksi 212 memang bikin semua orang sibuk. orang-orang yang sok sibuk itu melahirkan jaksa-jaksa dan hakim-hakim jalanan. Hanya dengan mengaku dirinya sebagai pembela kebhinekaan, mereka bebas menuduh sesama anak bangsa sebagai anti kebhinekaan. Padahal mah…