Betapa kerennya Ulama di Rezim ini
Oleh Irvan Rahfiansah
Orang-orang yang membangun dan mengasuh umat islam selalu lahir dari lingkungan yang jelas garis demarkasinya dari penguasa. Mereka mampu menjaga jarak, hingga jarak terpendek hanyalah antara mereka dengan penjara.
Dan jika sampai hari ini, hanya karena sebuah petisi lantas orang-orang berbalik pada tumit mereka dan beralih menjadi buntut penguasa, maka lisan mereka tidak pantas menyebut nama para ulama.
Seandainya kelak MUI dan atau FPI dibubarkan hanya dengan alasan konyol: agar kedzaliman bisa menang, maka saksikan, bahwa jelas sudah batas antara mereka yang memegang teguh kebenaran, dengan mereka yang menjual agamanya demi jabatan yang menipu.
bukankah sejarah selalu berkisah yang itu-itu saja: ulama selalu berhadapan dengan makar agar penguasa bisa bertahan, ulama selalu mengangkat dagu di hadapan penguasa, harta nyawa pun jadi jaminannya.
Maka jangan takut, dan jangan mundur. Karena memang begitulah jalan yang ada pada setiap zaman, yang menimpa para ulama. Mereka sekali-kali tidak akan mundur hanya karena iming-iming jabatan atau harta yang sedikit.
Bukankah dalam surat Al-Maidah 57 dan 58-surat yang sama yang menjadi bahan kita-dikatakan:
"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan pemimpinmu orang-orang yang membuat agamamu jadi bahan ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu dan di antara orang-orang kafir. Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu orang-orang yang beriman."
"Dan apabila kamu menyeru mereka untuk shalat, mereka menjadikannya bahan ejekan dan permainan, yang demikian itu karena mereka orang-orang yang tidak berakal."
Dua ayat di atas dengan tegas mengatakan, bagaimana harusnya sikap kita. Tanpa bermaksud membangkitkan sentimen, semestinya prosesi politik ini berjalan lebih menyenangkan dan damai. Namun, simbol-simbol agama sudah dipermainkan sebagai barang politik.
Bahwa islam dengan kesempurnaannya, selain mengatur urusan shalat dan zakat, juga kepemimpinan. Ia juga mengatur etika politik. Ia juga mengatur urusan-urusan adab. Itulah syumuliatul islam!
Mereka bisa saja mengatakan, jangan bawa agama kedalam politik. Jangan pakai Al-Qur'an itu untuk Pilkada, sedangkan ayat 58 surat Al-Maidah berbunyi:
"Katakanlah! "Wahai Ahli Kitab! Apakah kamu memandang kami salah, hanya karena kami beriman kepada Allah, kepada apa yang diturunkan kepada kami dan kepada apa yang diturunkan sebelumnya? Sungguh kebanyakan darimu adalah orang-orang yang fasik!"
Bukankah politik juga menjadi hak warga negara Indonesia, sebagai pemeluk islam?
Maka betapa kerennya jadi ulama di rezim ini, karena nyata mana kebenaran dan mana yang syubhat; mana orang yang memilih apa-apa yang samar dan mana yang memilih yang benar lagi tegas. Benarlah kata Nabi kita, bahwa dunia ini adalah penjara bagi orang-orang mukmin.
Maka betapa kerennya jadi ulama di rezim ini, karena mereka bertahan dari celaan orang-orang yang mencela, sebagaimana Al-Maidah 54; dan dengan tegas memberikan loyalitasnya pada Allah, Rasulullah, dan kitabnya, ketimbang lembaga survei atau pengusaha properti.
Dan saksikan bahwa kami, umat muslim, tetap berdiri di belakang ulama, apapun yang terjadi.
Teruslah berjuang, para ulama! Dan kami, insya Allah kan menjaga jalannya proses ini dengan damai dan santun.
"Beruntunglah mereka yang asing," Kata Rasulullah, lalu ditanya "siapakah mereka?"
"Yaitu orang-orang yang saleh di antara orang-orang jahat yang jumlahnya banyak sekali!"
Allahulmusta'an